TRANSFORMASI MEDIA NOVEL DALAM MIHRAB CINTA
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY KE FILM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan kita bertumpu pada tiga nilai yaitu nilai logika nilai etika dan nilai estetika.
Nilai logika berbicara tentang benar-salah, nilai etika berbicara
tentang baik-buruk dan nilai estetika berbicara tentang indah-tidak
indah. Logika diatur oleh agama, etika diatur oleh norma dan estetika
diatur oleh art (seni).
Agama dibuat atau ditentukan oleh Tuhan. Ketentuan tersebut tidak dapat
dibantah kebenarannya. Norma dibuat oleh sekelompok orang untuk
kepentingan kelompok tertentu. Antara satu kelompok dengan kelompok lain
norma yang berlaku berbeda-beda bergantung pada kelompok tersebut.
Sedangkan seni dibuat oleh masing-masing individu tetapi hasilnya dapat
dinikmati oleh setiap orang tanpa batas ruang dan waktu. Hikayat Hang
Tuah adalah salah satu hasil seni dari seseorang. Karya Hang Tuah adalah
hasil karya seorang sastrawan sebelum Indonesia merdeka. Namun hasil
karya ini masih bisa di nikmati waktu sekarang dan seterusnya juga oleh
setiap siapa saja di dunia ini. Inilah bukti nyata bahwa seni adalah
hasil karya seseorang yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Dalam
sejarah peradaban manusia telah bermacam-macam wujud, jenis dan bentuk
seni yang dibuat. Di antara yaitu seni lukis, seni pahat, seni ukir,
sastra dan film. Untuk kepentingan penelitian ini seni yang akan
peneliti singgung adalah seni Sastra dan film. Sastra dan film merupakan
dua jenis seni yang berbeda. Sastra menggunakan bahasa sebagai media pengantarnya sedang film menggunakan audio visual
sebagai pengantarnya. Namun, perbedaan tersebut bukan berarti antara
sastra dan film tidak bisa disatukan. Salah satu cara penyatuannya yaitu
dengan mengngkat cerita novel menjadi sebuah film, atau bahasa
sederhananya yaitu nofel difilmkan. Kasus semacam ini sudah banyak
dilakukan oleh industri perfilman di dunia. Di ataranya yaitu film Harry Potter dari novel Harry Potter, film Twilligt dari novel Twilligt, film The Lord of the Rings dari novel The Lord of the Rings film The Shawshank Redemption dari novel The Shawshank Redemption, film Roro Mendut dari novel Roro Mendut, film Laskar Pelangi dari novel Laskar Pelangi, film Wanita Berkalung Sorban dari Wanita Berkalung Sorban,dan lain-lain.
Dan akhir-akhir ini karya-karya Habiburrahman El Shirazy juga banyak di
angkat menjadi sebuah film. Yang sudah beredar diantaranya yaitu film Ayat-ayat Cinta yang diangkat dari novel Ayat-ayat Cinta,film Ketika Cinta Bertasbih I dan II yang diangkat dari novel Ketika Cinta Bertasbih I dan II dan yang paling baru yaitu film Dalam Mihrab Cinta yang diangkat dari novel Dalam Mihrab Cinta. Film Dalam Mihrab Cinta masih belum beredar dalam bentuk kepingan kaset, tetapi sudah bisa ditonton di bioskop-bioskop dan dapat diunduh di situs www.youtube.com.
Umumnya
film-film yang diangkat dari novel melibatkan dua orang penting yaitu
pengarang dan sutradara. Cerita dalam novel ditentukan oleh sudut
pandang pengarang, sementara cerita dalam film diatur oleh sutradara.
Maka dengan demikian, ketika novel difilmkan difilmkan maka cerita atau
kisah yang diceritakan tidak lagi bertolak pada sudut pandang pengarang
melainkan berpindah sudut pandang sutradara. Sudut pandang pengarang dan
sudut pandang sutradara jelas berbeda. Sudut pandang pengarang berpusat
pada kualitas novel dan seni bahasa, sedangkan sudut pandang sutradara
berpusat pada kulaitas film dan untuk kepentingan komersial. Sehingga
kita tidak heran, jika antara novel dan filmnya banyak perbedaan. Banyak
peristiwa dalam novel tidak ditayangkan pada filmnya dan banyak pula
peristiwa yang tidak ada dalam novel tetapi dalam filmnya ada. Ini semua
tidak terlepas dari andil sutradara yang mengambil alih pemilikan
cerita.
Namun,
bagaimana jika pengarang novelnya sendiri yang menjadi sutradanya
langsung dalam filmnya? apakah antara novel dan filmnya akan terjadi
banyak perbedaan atau perbedaan tersebut hanya sedikit? Pertanyaan
inilah yang membenak dalam hati peneliti sehingga peneliti ingin untuk
mengakajinya.
Kasus semacam ini terjadi pada film Dalam Mihrab Cinta yang di angkat dari novel Dalam Mihrab Cinta. Novel Dalam Mihrab Cinta ditulis oleh Habiburrahmana El Shirazy (Kang Abik) sekaligus menyutradarai film Dalam Mihrab Cinta.
1.2 Masalah
1.2.1 Jangkauan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini meliputi 1) Persamaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dan film Dalam Mihrab Cinta 2) Perbedaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dan film Dalam Mihrab Cinta 3) tingkat persamaan dan perbedaan novel Persamaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dan film Dalam Mihrab Cinta.
1.2.2 Batasan Masalah
Dari Jangkaun masalah di atas, peneliti membatasi penelitiannya pada aspek yang ke tiga yaitu tingkat Persamaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dan film Dalam Mihrab Cinta.
1.2.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan
batasan masalah di atas peneliti merumuskan masalahnya dalam penelitian
yaitu Bagaimana tingkat persamaan dan perbedaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dengan film Dalam Mihrab Cinta?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini mencari tahu persamaan dan perbedaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dengan film Dalam Mihrab Cinta?
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan tingkat persamaan dan perbedaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dengan film Dalam Mihrab Cinta?
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah menyumbangkan teori perbandingan terhadap sastra bandingan dibidang ekranisasi
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi
peneliti: penelitian ini bermafaat untuk memuskan rasa ingin tahu
peneliti terhadap masalah penelitian ini dan menambah wawasan peneliti
terhadap ilmu sastra bandingan
2. Bagi
masyarakat: penelitian ini bermanfaat menambah acuan tentang penelitian
sastra bandingan, sebab sepengetahuan peneliti bahwa penelitian tentang
sastra bandingan di Indonesia masih sedikit. Hal ini disebabkan tidak
lain karena ilmu sastra bandingan masih belum lama masuk ke Indonesia.
3. Bagi
Universitas kanjuruahn Malang: penelitian ini bermanfaat untuk menambah
kualitas dan kuantitas penelitian akademik sekaligus sebagai
dokumentasi bagi lembaga.
1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Rancangan Penelitian
Metode yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan tingkat persamaan dan perbedaan antara novel Dalam Mihrab Cinta dengan film Dalam Mihrab Cinta.
1.5.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini berupa cuplikan peristiwa, tokoh, dan setting dalam novel dan film Dalam Mihrab Cinta yang dianggap berbeda antara novel dan filmnya.
Sumber data penelitian ini yaitu
1. Novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. 2007. Jakarta:Republika
2. Film Dalam Mihrab Cinta yang disutradarai oleh Habiburrahman El Shirazy. Lanching Februari 2011
1.5.3 Instrumen Penelitian
Intrumen penelitian dalam penelitian ini yaitu peneliti sendiri yang dibantu dengan korpus data
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kepustakaan dan dokumentasi
1.5.5 Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini akan dianalisis dengngn menggunakan teknik deskriptif kualitatif.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Sastra Bandingan: Beberapa Konsep
Sastra
bandingan merupakan satu disiplin baru dalam ilmu sastra, sehingga
dalam beberapa kajian bandingan seringkali diawali dengan memberikan
penjelasan seputar apakah sastra bandingan itu sebenarnya. Untuk
menjawab hal ini, Remak (dalam Damono, 2005: 2) menyebutkan bahwa sastra
bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan
kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan
yang lain seperti seni, filsafat, sejarah, dan sains sosial, sain,
agama, dan lain-lain. Pernyataan tersebut menunjukkan ada dua
kecenderungan yang dapat dilakukan dalam kajian sastra bandingan, yaitu
sastra dibandingan dengan sastra dan sastra dibandingan dengan disiplin
ilmu lain.
Kajian
sastra bandingan ini banyak dipelopori oleh para penulis Prancis pada
abad ke-19 yang kemudian tergolong menjadi dua mazhab, yaitu mazhab
Prancis dan Amerika. Dari kedua mazhab itu kemudian sering disebut
sebagai mazhab lama dan baru.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Damono (2005: 10) menyebutkan bahwa mazhab Amerika
umumnya beranggapan bahwa perbandingan antara karya sastra dan bidang
lain harus dianggap sah. Dalam hal ini karya sastra dapat dibandingkan
dengan bidang ilmu sosiologi, agama, dan lain-lain. Hal yang penting
diperhatikan adalah titik beratnya, yaitu meskipun membandingkan karya
sastra dengan bidang ilmu lain, tetapi yang dipumpunkan adalah karya
sastranya. Sementara paham mazhab Prancis umumnya mengharuskan
perbandingan antara karya sastra dengan karya sastra. Perbandingan
antara karya sastra dengan disiplin ilmu lain dianggap tidak sah. Dengan
melihat hal ini mazhab Amerika terlihat lebih longgar. Dalam hal ini
saya lebih cenderung dengan mazhab ini.
Masih
dalam Damono (2005: 10) disebutkan bahwa ada dua metode dalam studi
pengaruh yang bisa dipergunakan. Pertama, peneliti menekankan masalahnya
dari segi pandangan sastrawan (outhor) yang dipengaruhi. Kedua,
peneliti menekankan masalahnya dari sudut pandang sastrawan yang
mempengaruhi. Metode pertama mencoba mendekati karya sebagai satu wujud
ideologi pengarang yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya dan
atribut dirinya. Sedangkan metode kedua pengarang justru mencoba
sedemikian rupa sehingga ia dapat menuangkan ideologinya melalui karya
demi satu tujuan berusaha mempengaruhi lingkungan sosial. Sedangkan
lingkungan sosial yang di maksud di sini sebenarnya adalah lingkungan
masyarakat yang akan menjadi pembaca atau penikmat karya sastra
tersebut.
Dari
kedua segi itu pun sebenarnya peneliti masih bisa lari lebih dalam, ke
lingkup yang lebih kecil, ke aspek yang lebih sempit, baik dalam hal
tema, gaya, genre, ataupun gagasannya. Bahkan peneliti juga menciutkan
penelitiannya dari segi kemiripan bahasa atau strukturnya.
Mengenai
pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan dalam penelitian sastra
bandingan, Clements (dalam Damono, 2005: 7-8) menyebutkan ada lima
pendekatan, yaitu: 1) tema atau mitos, 2) genre atau bentuk, 3) gerakan
atau zaman. 4) hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan
disiplin ilmu lain, dan 5) pelibatan sastra sebagai bahan lagi
perkembangan teori yang terus-menerus bergulir. Tidak jauh dari itu,
Jost menyebutkan empat bidang pendekatan: 1) pengaruh dan analogi, 2)
gerakan dan kecenderungan, genre dan bentuk, dan 5) motif, tipe, dan
tema.
Uraian
di atas menggambarkan betapa sastra bandingan memiliki ruang lingkup
penelitian yang sangat luas. Akan tetapi, dalam praktek kajiannya
peneliti bisa menitik beratkan pada satu pendekatan yang ada dan
menciutkannya kedalam sekup yang lebih sempit. Melalui cara ini tentunya
akan dicapai satu penelitian yang mendalam.
2.1.2 Ekranisasi: Proses Perubahan
Yang
dimaksud dengan ekranisasi sebenarnya adalah suatu proses pemindahan
atau pengadaptasian dari novel ke film. Eneste (1991: 60) menyebutkan
bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayar-putihan atau pemindahan /
pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Prancis
berarti ‘layar’). Ia juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke
layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan.
Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan.
Pada perkembangannya sekarang, ekranisasi bukan saja perubahan atau
adaptasi dari novel ke film, tetapi sekarang banyak pula bermunculan
adaptasi dari film ke novel. Berkaitan dengan ini, Damono (2005; 96)
menyebutnya dengan istilah alih wahana. Dalam hal ini ia menjelaskan
bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam
jenis kesenian lain.
Ekranisasi
sebenarnya adalah suatu pengubahan wahana dari kata-kata menjadi wahana
gambar. Di dalam novel, segalanya diungkapkan dengan kata-kata.
Pengilustrasian dan penggambaran dilukiskan dengan gambar. Sedangkan
dalam film, ilustrasi dan gambaran diwujudkan melalui gambar. Gambar di
sini bukan hanya gambar mati, melainkan gambar hidup yang bisa dironton
secara langsung, menghadirkan sesuatu rangkaian peristiwa yang langsung
pula.
Penggambaran
melalui kata-kata yang dilakukan dalam novel akan menimbulkan
imajinasi-imajinasi dalam pikiran pembacanya. Apa yang terjadi di sini
sebenarnya adalah proses mental. Dengan membaca, pembaca akan menangkap
maksud-maksud yang ingin disampaikan pengarang. Sedangkan dalam film,
penonton disuguhi satu gambar-gambar hidup, konkret, dan visual.
Penonton seolah-olah sedang menyaksikan suatu kejadian yang
sesungguhnya, yang nyata terjadi.
Perbedaan
wahana atau dunia—dunia kata dan dunia gambar—yang dimiliki oleh dua
media ini—novel dan film—tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang
berbeda. Selain dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki oleh
masing-masing media tersebut—novel dan film (seperti dijelaskan oleh
Bluestone, 1957: 1) juga dipengaruhi oleh adanya proses resepsi,
pembacaan, sutradara atau penulis skenario terhadap novel tersebut.
Lebih dari itu, yang namanya resepsi tidak dapat lepas dari yang namanya
interpretasi, dan pada itu juga akan dimasukkan juga ideologi dan
tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan keinginan sutradara ataupun
penulis skenario. Kompleksitas ini tentu saja akan sangat dipengaruhi
oleh jiwa zaman, fenomena sosial yang berkembang, dan sosial masyarakat
penerimanya. Hal-hal tersebut tidak dapat lepas dari: universe, author, dan reader. Dalam kondisi demikian sangat mungkin terjadi munculnya perbedaan ideologi antara wahana novel dan film.
Ekranisasi
juga menimbulkan beberapa perubahan pada sebuah karya sastra. Sebuah
novel yang mungkin dibaca dalam beberapa hari bisa dinikmati dalam waktu
yang relatif lebih singkat (durasi rata-rata film 90 menit). Hal ini
tentu menyebabkan adanya beberapa pengurangan atau penghilangan beberapa
bagian dari karya aslinya. Contohnya, film Ayat-Ayat Cinta yang
diangkat dari novel dengan judul sama. Terdapat beberapa tokoh yang
tidak ditampilkan dalam filmnya, misalnya Tuan Boutross ayah Maria.
Ekranisasi
juga salah satu bentuk interpretasi atau resepsi pembaca (dalam hal ini
penulis skenario). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dalam filmnya
terdapat penambahan dari karya aslinya. Di samping itu, sutradara juga
bisa memberi interpretasi sendiri terhadap skenario sehingga terjadilah
resepsi atas resepsi. Contohnya, film The Scarlet Letter. Dalam filmnya yang dibintangi Demi Moore, muncul tokoh Mituba yang tidak ada dalam novelnya. Film Ayat-Ayat Cinta
menampilkan kehidupan poligami tokoh Fahri yang tidak terdapat dalam
novelnya. Ini adalah satu bentuk interpretasi pembaca dalam rangka
melahirkan karya baru.
Perubahan yang bervariasi juga menjadi sebuah kemungkinan dalam ekranisasi. Contohnya, film William Shakespeare’s Romeo+Juliet. Perubahan besar muncul dalam film tersebut. Drama Elizabethan karya Shakespeare
ditampilkan dengan wajah yang berbeda yaitu dengan latar waktu abad 20
dan latar tempat yang berbeda pula. Romeo tidak lagi berpedang tetapi
berpistol dan tidak lagi berkereta kuda tetapi mengendarai mobil.
2.1.3 Transformasi Media
Pengalihan
sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah lama dilakukan.
Paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah puisi menjadi
sebuah lagu (musikalisasi puisi). Tentu bukan hal yang asing jika
disinggung puisi-puisi Taufik Ismail yang dilagukan oleh Bimbo, atau
novel Hilman Lupus yang diangkat ke layar perak. Pengalihan atau perubahan bentuk karya seni tersebut adalah hal yang biasa.
Perubahan
bentuk atau media ini tentu tidak bisa menghindari munculnya perubahan.
Cerita, tokoh, alur, latar, dan bahkan tema, bisa mengalami perubahan
dari bentuk asli (karya sastra) dalam bentuk film. Apabila teks karya
sastra berbicara melalui bahasa dan kata-kata, maka film berbicara
menggunakan bentuk visual (gambar).
Karya
sastra mengajak pembaca berimajinasi secara bebas mengikuti cerita.
Pembaca bebas memiliki imajinasi tentang gambaran tokoh, latar, dan
suasana dalam cerita. Di samping itu, dalam sebuah karya sastra tidak
jarang pengarang berhasil memancing rasa penasaran pembaca dengan
permainan kata-katanya. Inilah sebabnya kata-kata merupakan hal yang
sangat penting dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang membangun
cerita menggunakan kata-kata.
Berbeda
dengan karya sastra, film berbicara menggunakan gambar. Penulis
skenario, menurut Pudovkin (dalam Eneste, 1991: 16), bergulat dengan plastic material.
Penulis skenario harus cermat memilih materi yang bisa membawa gambaran
yang tepat bagi filmnya. Pemilihan materi sebuah rumah mewah dengan isi
perabotan yang juga mewah kiranya telah cukup memberi gambaran kepada
penonton bahwa tokoh yang digambarkan adalah seorang yang kaya.
Penentuan lokasi shooting di pedesaan cukup memberi gambaran mengenai latar cerita. Inilah yang disebut plastic material.
Satu
perbedaan yang mendasar pada proses pembuatannya, karya sastra adalah
sebuah karya individu. Pengarang bergulat dengan dirinya sendiri untuk
menghasilkan sebuah karya sastra. Kecermatannya menyusun kata-kata pada
akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Namun, film adalah
sebuah bentuk karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang
(seni) yang berbeda.
Terdapat
beberapa unsur mendasar dalam film. Setelah skenario disiapkan penulis,
sutradara tidak bisa meninggalkan peran juru kamera, juru rias, sound effect,
penyunting, dan tentu saja aktor. Eneste (1991: 18) menyebut film
sebagai gabungan beberapa ragam kesenian: musik, seni rupa, drama,
sastra ditambah unsur fotografi.Film juga disebutnya sebagai total art, pan art, atau collective art.
2.1.4 Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan strukturalisme, yang memfokuskan pada unsur-unsur intrinsik dalam novel Dalam Mihrab Cinta dan film Dalam Mihrab Cinta. Dengan
demikian, maka penelitian ini tidak akan membahas unsur-unsur lain di
luar teks. Pendekatan strukturalisme dipandang dapat digunakan mencapai
tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menemukan persamaan sekaligus
perbedaan yang terjadi akibat pengadaptasian tersebut.
Roland
Barthes membedakan dua jenis hubungan dalam satuan naratif, yaitu
hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Cerita dilihat dalam
hubungan sintagmatik dan dapat disebut sebagai unsur-unsur sintagmatik.
Unsur-unsur sintagmatik berkaitan dengan alur dan pengaluran. Dalam
karya naratif, unsur-unsur sintagmatik mempunyai dua fungsi yang
berbeda,
1. Fungsi
utama, yaitu unsur-unsur yang mempunyai hubungan logis atau sebab
akibat dan membentuk logika narasi. Satuan-satuan cerita ini merupakan
landasan cerita.
2. Katalisator,
yaitu satuan-satuan cerita yang berperan sebagai pelengkap. Satuan
cerita ini berfungsi untuk melengkapi dan mendukung fungsi utama.
Sedangkan
unsur-unsur yang dilihat dalam hubungan paradigmatik disebut
unsur-unsur paradigmatik. Unsur-unsur paradigmatik letaknya menyebar dan
merupakan pilihan. Unsur-unsur tersebut merupakan keterangan tokoh,
atau latar yang ada dalam cerita. Unsur-unsur paradigmatik dibedakan
menjadi dua.
1. Indeks, yaitu keterangan mengenai identitas para tokoh, sifat, perasaan, keadaan, dan pikiran mereka.
2. Informan, yaitu keterangan mengenai latar, baik latar tempat maupun latar waktu.
Teori hubungan sintagmatik-paradigmatik dijelaskan oleh Zaimar lebih lanjut.
Analisis
sintagmatik dan paradigmatik adalah konsep linguistik Saussure yang
berkembang secara luas dalam analisis sastra. Analisis sintagmatik
adalah analisis yang menelaah struktur. Analisis ini mengemukakan
kembali teks dengan menampilkan urutan sekuen. Sedangkan analisis
paradigmatik menelaah hubungan antarunsur yang hadir dan yang tidak
hadirr, yaitu hubungan makna dan simbol. Suatu peristiwa akan
mengingatkan peristiwa lainnya, suatu episode melambangkan suatu gagasan
atau menggambarkan suatu keadaan jiwa. Dasar analisisnya adalah
konotasi: unsur-unsur cerita berasosiasi dalam pikiran pembaca.
Dalam
pembuatan sekuen, baik sekuen film maupun novel, penelitian ini akan
mengacu pada pengertian sekuen seperti yang diungkapkan oleh Schmitt
& Vialla, yang mengungkapkan syarat-syarat sekuen sebagai berikut:
- Sekuen harus terpusat pada satu titik perhatian (fokalisasi) misalnya peristiwa, tindakan tokoh, ide atau pemikiran tokoh.
- Sekuen harus mempunyai satu kurun waktu dan ruang yang padu, yaitu yang terjadi pada tempat dan waktu yang sama. Dapat juga merupakan gabungan beberapa tempat yang tercakup pada satu tahapan, misalnya suatu periode kehidupan seorang tokoh.
BAB III
PEMBAHASAN
1.1 Analisis Data
1. Tokoh
v Novel
Syamsul
Hadi, Zidna Ilma (Zizi), Burhan, Kiyai, Lurah Pondok, Bagian Keamanan
Pondok, Pak Bambang (Bapaknya Symasul), kakak-kakak Syamsul, Ibu Bambang
(Ibunya Symasul), Nadia (Adiknya Symasul), Silvi, Pak Heru (Bapaknya
Silvi), Ibu Heru (Ibunya Silvi), Delia, Pak Broto (bapaknya Delia), Ibu
Broto (Ibunya Delia), Pak Abbas (Ketua RT), Dua Pencopet, Polisi.
Tokoh Utama: Syamsul Hadi
Syamsul Hadi:
"Siapa
namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah santri putra ada seribu lima
ratus santri, Pak Kiai tidak hafal nama semua santrinya.
Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul... Syamsul Hadi, Pak Kiai."
Zidna Ilma (Zizi):
“Kangmas,
Zizi bebicara bukan hanya sebagai adik dan kakak, Kang Mas, tapi Zizi
berbicara pada Kang Mas sebagi Pimpinan Pesantren Al Furqon ini, Zizi
yakin Kang Mas, Mas samsul bukanlah pencuri.
“Jadi kamu meragukan keputusan kang masmu”
Burhan
"Dia,memang
orangnya sangat bandel Pak Kiai. Dia tidak mau mengaku, tapi kami
menangkap basah dia sedang membuka lemari si Burhan di kamar 17 Pak
Kiai. Di kamar 17 sudah dua orang kehilangan uang. Saat itu kamar sepi,
kami yang memang memasang orang di atas eternit melihatnya membuka
lemari Burhan."
"Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak Kiai pelan.
Lurah Pondok
Pintu
gudang lalu ditutup oleh Lurah Pondok. Pak Kiai berdiri tepat di
hadapannya. Empat pengurus dan Lurah Pondok mengambil posisi
mengelilingi si Gondrong
Bagian Keamanan
Serta
merta dua bogem melayang ke wajahnya. "Nich rasain pencuri!" teriak
Ketua Bagian Keamanan yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong
mengaduh lalu pingsan
Pak Bambang
Ayah
Syamsul, Pak Bambang, sangat malu dan marah. Di ruang itu juga ia
menampar anaknya berkali-kali, "Anak tak tahu diri! Apa masih kurang
Papa memberimu uang saku dan lain sebagainya. Kurang uang tinggal minta,
kenapa malah maling!"
Ibu bambang
Tak ada yang berani membantah. Bu Bambang masih tampak marah. Rasa marahnya saat itu mengalah-kan rasa kasihan pada anaknya itu.
Kakak-kakak syamsul
Kedua kakak dan ibunya lebih percaya pada keputusan pesantren.
"Sudah
lebih baik kau mengakui dosamu itu dan bertaubat. Sesali perbuatanmu
itu dan jangan keras kepala!" Kakak sulungnya yang sudah punya dua anak
itu marah.
Nadia
Nadia
masuk ke kamarnya membawa peralatan P3K. la bersihkan luka-luka
kakaknya dengan air mineral, lalu dengan rivanol. Setelah itu ia oleskan
Betadine.
"Apakah kau juga tidak percaya bahwa aku tidak mencuri, Nadia?" Tanya Syamsul. Nadia diam. Tidak menjawab.
Silvie
Syamsul
meninggalkan rumah itu dan pergi ke masjid. Sambil menunggu ia
berbincang-bincang dengan penjaga masjid. Ia banyak mendapatkan info
yang berharga. Termasuk tentang penghuni rumah no.19 Jalan Flamboyan.
Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi UI. Silvie anak tunggal.
Ayahnya seorang pengusaha di bidang travel dan pariwisata. Namanya Pak
Heru.
Pak Heru
"Assalamu'alaikum." Sapa Pak Heru.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa Pak Heru?" Jawab
Bu heru
Bu
Heru kelihatan agak kecewa. Namun segera tersenyum, "Sebenarnya kami
ingin Ustadz berangkat bersama kami. Kalau memang begitu ya tidak
apa-apa. Nanti kami ganti lain kali yang lebih baik, insya Allah."
Delia
"Ustadz Syamsul... Ustadz Syamsul?" Suara Delia itu meluruhkan amarahnya. Me-
nyejukkan hatinya.
"Ada
apa Delia?" Jawab Syamsul langsung menengok ke arah Delia yang berjalan
cepat ke arahnya. Ia tidak memperhatikan Syamsul. Burhan yang masih di
samping Syamsul, ikut memandang Delia.
Pak Broto
"Oh, Pak Ustadz. Mau ketemu siapa?"
"Pak Broto ada, Bu?"
"Ada. Silakan masuk Pak Ustadz."
Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk bersarung dan berbaju koko keluar.
"
Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya Pak Ustadz?" Pak Broto merasa kenal
Bu Broto
Di antara jamaah itu ada Pak Broto, Bu Broto, Pak Heru, Bu Heru, Silvie dan orang-orang penting penghuni perumahan mewah itu.
Pak Abbas
"Nama saya Syamsul Pak."
"Ya
jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Oh ya nama saya Abbas. Panggil saja
Pak Abbas. Kebetulan saya Ketua RT 2 di perumahan ini."
Dua Napi
" Sejak itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang
Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapida yang
tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua nara-
pidana itu mengajaknya untuk bergabung dalam
komplotannya..
Polisi
Siang
itu ia baru saja menyantap jatahnya makan siang. Seorang polisi datang
dan membawanya keluar. Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab.
Hatinya berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam hatinya.
Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini adiknya tahu ia benar-benar
seorang kriminil.
v Film
Syamsul
Hadi, Zidna Ilma (Zizi), Burhan, Kiyai, Lurah Pondok, Bagian Keamanan
Pondok, Pak Bambang (Bapaknya Symasul), Ibu Bambang (Ibunya Symasul),
kakak-kakak Syamsul, Nadia (Adiknya Symasul), Silvi, Pak Heru (Bapaknya
Silvi), Ibu Heru (Ibunya Silvi), Delia, Pak Broto (bapaknya Delia), Ibu
Broto (Ibunya Delia), Pak Abbas (Ketua RT), Dua Napi, Polisi.
Tokoh Utama: Syamsul Hadi
2. Alur
v Novel
Alur dalam novel menggunakan alur maju
v Film
Alur dalam novel menggunakan alur maju, dan di beberapa adegan menggunkan alur mundur.
3. Setting Tempat (Secara garis besar)
v Novel
Pondok
Pesantren Al Furqon Kediri, Rumah Symasul, Polsek Semarang, Jalanan
Jakarta, komplek Plamboyan Jakarta, Perumahan Villa Gracia, Studio TVE.
Pondok Pesantren Al Furqon Kediri
Siang
itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah Pagu, Kediri, Jawa
Timur geger. Pengurus Bagian Keamanan menyeret seorang santri yang
diyakini mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri berambut
gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta ampun.
Rumah Symasul
Sampai
di rumah ia ternyata juga menemukan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa
ia terfitnah. Ia tidak pernah mencuri di pesantren. Namun penjelasannya
itu tidak bisa diterima oleh seluruh anggota keluarganya. Kemarahan
ayahnya juga tidak reda. Kedua kakak dan ibunya lebih percaya pada
keputusan pesantren.
Polsek semarang
Sejak
itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang Tugu. Ia satu sel dengan dua
orang narapida yang tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua nara
pidana itu mengajaknya untuk bergabung dalam komplotannya.
Jalanan Jakarta
Maka dengan bus ekonomi ia nekat pergi ke Jakarta setelah mengambil baran-barangnya di masjid dekat PasarBulu.
Sampai
di Jakarta ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tiba di Lebak Bulus pagi
buta. Bingung mau ke mana. Setelah shalat Subuh ia berjalan-jalan di
terminal melihat-
lihat.
Komplek Flamboyan
"Mm.
Saya mau ke Flamboyan 17." Jawabnya mantap. Sengaja ia tidak bilang
Flamboyan 19. Ia teringat pada nasihat napi berkumis tebal, "Jangan
pernah mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada siapapun saat
observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab pertanyaan."
Perumahan Villa Gracia
Bakda
Ashar ia meluncur dengan sepeda motor Pak Abbas. Tak lama ia temukan
Villa Gratia itu. Perumahan elite. Pintu masuknya dijaga satpam. Ia tak
jadi masuk. Ia terus saja jalan.
Studio TVE
Ia
muncul di televisi dua kali selama Ramadhan. Tanggal 9 Ramadhan dan
tanggal 27 Ramadhan. Ia mempersiapkan ceramahnya dengan sungguh-sungguh.
Ia ajak remaja masjid untuk menyertainya latihan. Seolah-olah di
studio. Mereka sebagai audiens nya. Ia minta masukan dan kritikan.
Sampai menemukan bentuk dan performa terbaik.
v Film
Stasiun
Pekalongan, Dalam kereta api, Pondok Pesantren Al Furqon Kediri, Rumah
Symasul, Polsek Semarang, Jalanan Jakarta, komplek Plamboyan Jakarta,
Perumahan Villa Gracia, Studio TVE.
1.2 Pembahasan
Yang menjadi tolak ukur peneliti dalam menentukan besar kecilnya perbedaan yang ada antara novel dan film Dalam Mihrab Cinta
yaitu unsure intrinsik sastra. dalam pelaksanaan peneliti tidak
menggunkan semua unsure intrinsik tersebut melainkan mengambil tiga di
antaranya yaitu Tokoh, Alur dan Setting. Pengambilan tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa tema dan amanat mesti sama antara
novel dan filmnya, sedangkan point of view tidak
berpengaruh pada film. Jadi unsur-unsur yang menampakkan perbedaan
antara novel dan filmnya yaitu tokoh, alur, dan setting.
1. Tokoh
Tokoh dalam novel dan film Dalam Mihrab Cinta sama.
Tidak ada penambahan dan pengurangan tokoh. Beberapa tokoh tidak
penting seperti penjaga warung, temannya zizi, dan Satpam di komplek
perumahan Flamboyan tidak saya sebutkan.
2. Alur
Alur dalam novel Dalam Mihrab Cinta
menggunakan alur maju. Begitu juga difilmnya, menggunakan alurnya,
tetapi dibeberapa adegan atau peristiwa menggunakan alur mudur. Seperti
1. adegan
Si Syamsul yang diintrogasi oleh kiyai dan bidang kemanaan pondok.
Alurnya balik ke kejadian syamsul yang disuruh mengambilkan dompet
Burhan oleh Burhan
2. adegan
waktu Burhan memberikan Zizi koran JATIM Post tentang informasi.
Alurnya kembali ke peristiwa-peristiwa pertemuan Samasul dengan Zizi.
3. Adegan
waktu syamsul mencari alamat Silvie. Alurya balik keperistiwa waktu
syamsul diperingati oleh dua orang napi di penjara polsek Semarang.
3. Setting
Setting yang menjadi acuan peneliti dalam mencarai besar kecilnya perbedaan novel dan film Dalam Mihrab Cinta ini hanya menggunakan setting tempat
saja, semenatara seting waktu dan seting suasana tidak peneliti
libatkan karena menurut peneliti itu tidak terlalu berpenagaruh.
Beberapa setting yang berbeda antara novel dan filmnya yaitu
1. Adegan syamsul yang disuruh mengambilkan dompet Burhan oleh Burhan.
- Setting di novelnya yaitu di jalan yang sudah jauh dari Pesantren.
- Setting di Filmnya yaitu di depan gerbang pesantren
2. Adegan Syamsul mengajari Delia ngaji.
- Setting di novelnya yaitu di dalam ruang rumah
- Setting di novelnya yaitu di gardu luar rumah
4. Dialog
Selain tiga aspek di atas, saya menambahkan dua aspek yang menudukung penelitian ini yaitu dialog dan peristiwa.
Dialog
yang diucapkan oleh masing-masing tokoh dalam novel dan filmnya iatau
inti pembicaraannya sama. Bedanya yaitu dialog dalam film singkat atau
dipersingkat dari dialog asli dalam novelnya.
Berikut beberapa contoh diaolog tersebut
- Novel
1. Dialog Pertama
"Ini
Pak Kiai pencuri yang selama ini menjarah barang-barang para santri.
Baru tadi siang ditangkap basah oleh Bagian Keamanan." Ketua Bagian
Keamanan membuka pengadilan.
"Siapa
namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah santri putra ada seribu lima
ratus santri, Pak Kiai tidak hafal nama semua santrinya.
Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul...Syamsul Hadi, Pak Kiai."
"Nama yang sangat bagus. Benar kamu yang mencuri?"
Syamsul menggelengkan kepala. Ketua Keamanan marah,
"Dia,memang
orangnya sangat bandel Pak Kiai. Dia tidak mau mengaku, tapi kami
menangkap basah dia sedang membuka lemari si Burhan di kamar 17 Pak
Kiai. Di kamar 17 sudah dua orang kehilanganuang. Saat itu kamar sepi,
kami yang memang memasang orang di atas eternit melihatnya membuka
lemari Burhan."
"Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak Kiai pelan.
"Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri."
"Lantas untuk apa?!!" bentak Ketua Bagian Keamanan garang.
"Karena saya diminta untuk mengambilkan uang oleh Burhan Pak Kiai." Jawab Syamsul.
"Hmm...Burhan ada?" tanya Pak Kiai sambil melihat Ketua Bagian Keamanan.
Ada, Pak Kiai."
"Dia tahu kalau si Syamsul tertangkap karena membuka lemarinya?"
"Tahu Pak Kiai."
Pak Kiai manggut-manggut dan mengerutkan dahi.
"Panggil Burhan kemari!" pinta Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai."
Ketua Bagian Keamanan lalu bergegas keluar.
Burhan
datang dengan wajah sedikit pucat. Namun masih tampak tenang. Ia
samasekali tidak memandang Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan.
"Burhan ke sini!" pinta Pak Kiai.
Burhan mendekat.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi? Kenapa Syamsul diadili dan kenapa kau dibawa kemari?"
lanjut Pak Kiai.
"Iya Pak Kiai."
"Kau harus jujur. Karena kejujuran mendatangkan kebaikan. Dan kedustaanmendatangkan petaka.
Syamsul ini mengaku bahwa kau memintanya mengambilkan uangmu di lemarimu, apa benar?"
Syamsul
menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut temannya itu. Ia berharap
temannya itu jujur, mengatakan yang sebenarnya. Dengan suara bergetar
Burhan menjawab, "Ti...tidak benar Pak Kiai!"
Syamsul kaget bagai disambar geledek. Dengan penuh amarah dia berteriak,
"Teganya kau Bur... Kau santri atau bajingan?! Dancok kau Bur!"
"Diam kau maling! Kau yang jelas bajingan bukan Burhan!" bentak Bagian Keamanan.
"Demi
Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya tidak mencuri.
Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan uangnya untuk beli baju dan
mentraktir saya. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa saya jika saya
berdusta!" Syamsul bersumpah dengan suara lantang. Kedua matanya menyala
seperti mata elang. Pak Kiai agak kaget. Beliau langsung memandang
Burhan,
"Burhan
karena Syamsul sudah berani bersumpah.Kau harus berani juga bersumpah
bahwa apa yangkaukatakan benar. Jika tidak maka kau bersalah. Kau akan
dapat hukuman atas kedustaanmu. Sebab kedustaanmu itu telah mencelakakan
orang lain."
Dengan
tenang Burhan menjawab, "Penjahat akan melakukan apa saja untuk
menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang
baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga segala
laknat Allah menimpa saya."
2. Dialog Kedua
Siang
itu ia baru saja menyantap jatahnya makan siang. Seorang polisi datang
dan membawanya keluar. Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab.
Hatinya berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam hatinya.
Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini adiknya tahu ia benar-benar
seorang kriminil.
"Nadia!" Serunya pada adiknya.
Nadia menoleh ke arahnya. Kaget. Tidak percaya.
"Kau.. .kau bukan Kak Ss. . .s..." Nadia gagap tidak percaya.
"Tenang. Aku kakakmu, Nadia."
Nadia menggeleng-gelengkan kepala dan menangis.
"Tidak.. .tidak.. .tidak, Kak!"
"Tenang Nadia, beri kesempatan aku bercerita. Mari
Kita bicara dengan tenang."
Nadia duduk tenang. Air matanya bercucuran.
"Kau sendirian, Nadia?"
Nadia mengangguk.
"Keluarga semua baik?"
Nadia kembali mengangguk.
"Apa mereka sudah tahu aku disel?"
"Begitu
membaca koran Suara Mahardika dan menonton berita di televisi mereka
semua yakin yang tertangkap adalah kakak, meskipun memakai nama Burhan.
Hanya aku yang tidak percaya, maka aku kemari. Ternyata dugaanku salah.
Kakak memang seorang penjahat!"
Syamsul menangis.
"Maafkan
aku Nadia. Demi Allah ini yang pertama kali aku lakukan. Dan aku
berharap yang terakhir kalinya." Syamsul lalu menjelaskan perjalanan
hidupnya sejak pergi dari rumah sampai kehabisan uang. Dan kejadian di
Ngaliyan itu.
"Tolonglah aku, Adikku."
Nadia diam. Rasa kasihannya keluar setelah
"Hanya kau yang kuharapkan, Adikku.Tolonglah!"
"Bagaimana aku bisa menolongmu Kak?"
"Tebuslah aku biar aku bisa keluar dari sini."
"Berapa Kak?"
"Kau bawa kartu ATM?"
"Iya."
"Isinya berapa?"
"Tiga juta."
"Baik. Biar aku negosiasi dengan polisi dulu. Baru kau ambil uang di ATM ya."
"Baik Kak."
- Film
1. Dialog Pertama
Lurah
pondok: “Ini pak kiayi, orang yang kita cari-cari, pencuri yang selama
ini menjarah barang-barang milik santri, akhirnya bisa tertangkap oleh
santri bagain kemanan”
Kiyai: “sopo jenengmu?”
Syamsul: “Syamsul….syamsul hadi pak kiyai”
Kiyai: “Nama yang sangat bagus, benar kamu yang mencuri?”
Syamsul: “Ndak, ndak pak kiyai”
Lurah
Pondok: “Masih tidak mau mengaku, sudah jelas-jelas kamu tertangkap
basah membongkar lemar si Burhan. Di kamar itu sudah dua orang yang
kehilangan uang Pak Kiyai”
Kiyai: “Benarkah kamu yang membuka lemari Burhan”
Syamsul: “Benar Pak Kiyai tapi bukan untuk mencuri, bukan untuk mencuri”
Lurah Pondok: “Lantas untuk ap?”
(ditampilkan adegan Symsul yang disuruh Burhan untuk mengambilkan dompetnya Burhan dilemarinya)
Syamsul: “Kalau Burhan ada di sini sekarang, pasti dia akan menjelaskan semua, bahwa saya ndak bersalah Pak Kiyai”
Kiyai: “Panggil Burhan”
Bidang Keamanan: “Burhan ada?”
Seorang Santri: “Ada, ini pak kiyai”
Syamsul: “Burhan, tolong bilang sama mereka semua, kalau kamu yang meminta aku untuk mengambil uangmu dilemari, tolong Burhan”
Kiyai:
“Burhan, kamu harus jujur, karena kejujuran mendatangkan kebaikan dan
kedustaan mendatangkan petaka. Apa benar kamu meminta Syamsul untuk
mengambilkan uang di lemarimu? Saya harap kamu mengatakan yang
sebenarnya.
Burhan: “Tidak benar Pak Kiyai”
Syamsul: “Tega kamu, tega kau Bur, kamu ini santri atau bajingan, Dajjal kau.
Burhan: “Diam kau maling, kau yang jelas bajingan bukan aku.
Kiyai: fa al yaku al khairin auli yasmun. jaga ucapan kalian!
Syamsul:
“Sumpah, sumpah demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiyai,
biar laknan Allah menimpa saya bila saya berdusta Pak Kiyai”
Kiyai:
“Burhan, Syamsul sudah berani bersumpah, kamu juga harus berani
bersumpah bahwa apa yang kamu katakan itu benar, kalau tidak, maka kamu
yang bersalah. Kamu akan mendapat hukuman atas kedustaanmu, sebab
kedustaanmu itu telah mencelakakan orang lain”
Burhan:
“Penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak
Kiyai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saya katakan adalah
benar. Jika saya berdusta, saya siap menerima laknat Allah.
Syamsul: “Astragfirullah Burhan, Burhan, Burhan”
2. Dialog Kedua
Syamsul
sedang berbicara dengan nara pidana yang lain di dalam penjara. Polisi
dating menyruhnya menemui tamu yang menunggunya di luar.
Syamsul: “Nadia!”
Nadia: “Bukan, kamu bukan Mas Symsul. Bukan, ksmu bukan Mas Symsul”
Syamsul: “Ini Syamsul masmu”
Nadia: “Astagfirullahazim Mas Syamsul, ternyata mas benar-benar ada ditempat ini”
Syamsul : “Mas minta maaf ya. Demi Allah ini pertama kali Mas lakukan, dan Mas harap ini yang terakhir kalinya”
Nadia: “Bagaimana ini semua bisa terjadi Mas?”
(Ditampilkan adegan Syamsul yang mencopet di Mini Bus)
Syamsul : “Mas terpaksa”
Nadia: “Ya Allah, Nadia gak menyangkan nasib Mas Syamsul akan seperti ini”
Syamsul : “Ssst, yang kuat. Sudah! Jangan nagislah, malu dilihat orang. Kamu tinggal dimana di semarang?
Nadia: “Dirumah Bude yang di candi Mas”
Syamsul : “Nad, ada berapa uangmu di ATM? Ada berapa?”
Nadia : “Empat jutaan, kenapa Mas Syamsul?”
Syamsul : “Mas mohon kamu tebus Mas dari sini ya! Keluarkan Mas dari penjara ini Nad. Tolong Mas, ya!
Nadia
: “Baik, Nadia mau membantu mas syamsul, tapi Mas Syamsul harus janji
ma Nadia, kalo Mas sudah bebas nanti, Mas harus pulang bersama Nadia,
Mas harus pulang ke Pekalongan, kasian ibu Mas.
Dari dua contoh di atas kita bisa melihat secara jelas bahwa inti
pembicaraannnya sama, hanya saja pilihan kata yang dipakai di dua media
tersebut berbeda, dan beberapa objek pembicaraan diganti namun tidak
mengurangi makna pembicaraan. Seperti pada dialog pertama kata dancok diganti dengan dajjal dan pada dialog kedua nadia menjawab tiga juta diganti dengan empat jutaan. Tapi tetap ini tidak mepengaruhi makna percakapan.
5. Peristiwa
Peristiwa
yang ada dalam novel dan fimnya juga umumnya sama, hanya beberapa yang
peristiwa di novelnya tidak ditayangkan. tapi saya melihat, hal se,acam
ini bukan hal yang tidak disengaja tetapi saya melihat sebagai upaya
sutradara dalam menyeimbangi waktu yang dibutuhkan dalam perfilman.
Sebab durasi waktu movie yang dibutuhkan adalah berkisar dua jam. Jika
semua peristiwa ditayangkan jelas memakan waktu lebih dari itu. Namun
tetap, menurut hasil pengamatan saya bahwa peristiwa yang tidak
diyatangkan dalam novel adalah peristiwa-peristiwa yang tidak terlalu
penting. Tidak terlalu penting di sini maksudnya bahwa peristiwa
tersebut tidak mengurangi makna film atau nilai film tersebut.
Di
sisi lain bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak ditayangka tersebut
bukan semata-mata tidak ditayangkan, tetapi dikurangi kejadiannya
taudiganti dengan peristiwa lain. Seperti pada saat Nadia menemui
Syamsul di penjara. Pada novelnya diceritakan bahwa syamsul ditemui
sewaktu makan siang tetapi pada filmnya Syamsul ditemui ketika sedang
berbicara dengan narapidana lainnya. Dan sekali lagi ini tidak
mempengaruhi nilai-nilai yang ada dalam novelnya.
BAB VI
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita bisa simpulkan bahwa tingkat perbedaan antara novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dengan film Dalam Mihrab Cinta sedikit. Hal ini disebabkan karena yang menjadi sutadara dalam film Dalam Mihrab Cinta adalah penulis novelnya sendiri yaitu Habiburrahman El Syirazy
1.2 Saran
Untuk
pembaca umum, hendaknya membandingkan sendiri novel Dalam Mihrab Cinta
dengan filmnya kemudian bandingkan hasil perbandingan Anda dengan hasil
perbandingan peneliti. Dan saran untuk peneliti selanjutnya yaitu
hendaknya meneliti novel yang difilmkan yang penulis novelnya orang
Barat dan sutradara filmnya orang Indonesia sendiri.
Daftar Pustaka
Shirazy, Habiburramhan El. 2007. Dalam Mihrab Cinta.Jakarta:Republika
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://bensuseno.wordpress.com/2009/10/23/isu-poligami-dalam-novel-dan-film-ayat-ayat-cinta-kajian-perbandingan/
http://tegarayama.blogdetik.com/2010/06/08/ekranisasi-alternatif-studi-sastra-banding/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar